Selasa, April 22, 2014

Catatan Perjalanan (Keren) Karst Rammang Rammang, Desa Berua dan Taman Bidadari

Menjadi presenter acara jelajah alam sepertinya menyenangkan, apalagi di bagian menyusuri sungai dengan menaiki perahu kecil berisi 4-5 orang saja. Begitulah khayalanku tiap liat program televisi jelajah alam, saya nggak ingat acaranya.
dimanakah ini? :D

Akhirnya, wow Alhamdulillah! Perjalanan seru menyusuri sungai dengan pinggiran tumbuhan bakau diitari dengan karst dan pegunungan kapur, membuat hari terakhir long weekend tengah April ini mengesankan. Tebak saya kemana? Yap, karst di desa rammang-rammang dan Desa Berua di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Selfie si Agung nih! *ikutan :P

Awalnya saya bimbang ingin ikut ajakan Ardi dan temannya si Agung ke Maros, mau lihat karst, batuan yang unik, eksotis dan katanya bagus. Sebenarnya saya tertarik ikut, penasaran juga datang langsung melihat karst dari dekat. Terlebih kata si Ardi, karst di Rammang-Rammang ini konon terbesar kedua di dunia setelah China, kata si Ardi dari hasil browsingnya. Cuman karena dua hari kemarin kaki saya gempor diajak jalan-jalan (dalam arti sebenarnya, jalan kaki!) dari Lapangan Karebosi ke Pantai Losari via Fort Rotterdam PP, hari kedua ke Pulau Samalona dan sama aja jalan kaki menuju dermaga penyeberangannya dari Lapangan Karebosi, jadinya hari Minggu pingin ngistirahatkan kaki saya. Apalagi esoknya sudah ngantor lagi. Temen-temen sekos juga diajak pada absen semua, milih bentangin selimut dan tiduran lagi. Saya juga terpancing bermalas ria, tapi melihat semangat Ardi yang menggebu-gebu bolak-balik kamar saya buat nawarin ikut, akhirnya saya bergegas mandi dan ikut. Kami berangkat menuju Terminal Daya sebagai meeting point kami bertiga.

Terminal Daya ini merupakan terminal di kota Makassar. Biasanya ini jujugan angkot lintas kabupaten maupun bus antar kota. Setelah kami beli bekal berupa air mineral dan snack juga roti selama di perjalanan nanti, kami beranjak mencari angkot jurusan kabupaten Pangkep. Letak Karst Rammang-rammang memang diantara Pangkep dan Maros, hanya saja pintu masuknya terletak di kabupaten Maros. Angkot atau dikenal dengan sebutan pete-pete di Makassar ini, berwarna biru cerah langit. Untuk membedakan jurusannya biasanya terpampang di kaca depan, atau tanya langsung pak sopirnya tujuan kita benar nggak angkot itu.

Dari terminal Daya, nanti bilang daeng sopirnya untuk turun di pertigaan Semen Bosowa. Biasanya perlu waktu 30 menitan, kalau hampir sampai tandanya nanti keliatan gunung kapur di sisi kanan jalan. Tarif angkot dari Terminal Daya Makassar ke pertigaan semen Bosowa dipatok harga 10 ribu rupiah. Di pertigaan itu kita menyeberang jalan, ambil jalan masuk ke kanan. Disini kita akan berjalan kaki di tengah terik matahari siang itu. Di sepanjang jalan kerapkali melintas truk truk besar bermuatan kapur yang dikeruk dari gunung kapur ini untuk bahan baku semen. Bisa dibayangkan gunung kapur yang mulai bolong-bolong dikeruk oleh alat-alat berat pengeruk tambang. Hmm serem.. Meski demikian, semoga karst rammang-rammang tetap terjaga kelestariannya.

Beberapa meter setelah  melangkahkan kaki melewati Gardu Induk PLN Maros,  di sebelah kiri ada gapura  desa Rammang-Rammang ada tulisan Karst. Kami bertiga masuk ke daerah itu. Tak lama setelah kami berjalan di jalan cor semen selebar badan truk besar, kami disuguhi pemandangan ciamik. Kiri kanan terbentang hamparan sawah dengan latar gunung karst, seakan-akan melindungi sawah ini dari tiupan angin. 
Menyusuri pematang sawah dengan latar karst!

Perjalanan tidak kami lanjutkan melalui jalan cor itu. Kami kearah kanan areal persawahan. Si Ardi yang punya inisiatif menyusuri sawah untuk dapat spot bagus bebatuan karst yang berada di areal persawahan.
Lucu dan seakan kembali ke nostalgia masa kecil silam. Menyusuri pematang sawah yang becek, kanan-kiri sawah yang terendam air, melihat kawanan bebek yang berenang riang di areal sawah yang tergenangi air, juga melihat kerbau mandi di kubangan air dengan sesekali melahap rerumputan. Menyegarkan melihatnya meski terik matahari sangat menyengat siang hari itu.
lukisan langit karst dan hijaunya rumput menjadi suguhan sempurna. Hmmm kali nggak ada orang lebih sempurna, haha

Asyik berjalan tak sadar kami dibuntuti dua anak kecil kakak beradik. Mereka tour guide kami, menunjukkan jalan kemana kita harus lalui, turut berhenti kalau kami istirahat atau kami sedang ingin foto-foto.  Tak jarang mereka pun juga ikut foto, bahkan beberapa kali setengah memaksa Ardi agar difoto. 
Karst dengan cekung seirama di bagian tengahnya. masih bertanya-tanya, kenapa bisa begitu?

Setelah lama kita berjalan, naik turun karst juga untuk mencapai spot yang lebih ciamik, ternyata di balik jejeran karst terdapat rumah panggung. Rumah ini digunakan anak-anak untuk mengaji atau biasa dikenal dengan sebutan TPA. Pantesan saya awalnya terheran-heran, kenapa anak sekecil ini bisa keluyuran sampai di kawasan karst yang medannya cukup tajam dan terjal dilalui. Ternyata memang mereka hendak mengaji, hanya saja seneng ngutit di belakang kami.
anak-anak yang menemani kami

TPA di tengah sawah

Setelah puas menjelajah pematang sawah dan mengambil beberapa spot untuk foto, kami mencari tempat teduh untuk istirahat. Ardi dan Agung melahap bekal sarapan mereka, sedangkan saya karena sudah sarapan, jadi hanya menghabiskan seiris roti dan susu full cream. Suhu udara yang panas ditambah dengan jarangnya angin sepoi yang berhembus membuat bekal air minum kami semakin menipis. Saya yang termasuk boros minum ini hampir habis 1 botol air mineral ukuran tanggung dari 2 botol ukuran serupa yang saya bawa. Semoga cukup, batinku.
Istirahat dulu, melahap bekal. Depan si Ardi, belakang si Agung

Saat istirahat, kebetulan kami bertemu dengan penduduk sekitar yang pulang dari bercocok tanam. Dari bapak itulah kami tahu letak dermaga Rammang-rammang, lokasi persewaan perahu yang akan kami pakai untuk menyusuri sungai Pute menuju desa terisolir namun cantik bernama desa Berua.
Berasa di jaman batu

 eksotis keren (abaikan orangnya, hahaha)

Lubang di tengah batu karst yang besar

Desa Berua, Desa Eksotis
Dirasa cukup waktu beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju dermaga yang dimaksud bapak itu. Kami balik ke arah jalan masuk gapura desa rammang-rammang tadi. Setelah keluar dari gapura warna biru tadi, kami belok kiri. Kalau dari arah pertigaan semen Bosowa tadi ya tinggal lurus saja sampai ketemu jembatan. Di bawah jembatan itulah dermaga perahu untuk ke desa Berua. Tariff perahu bermacam-macam, tergantung dengan ukuran perahunya. Harga yang dipatok berkisar Rp 200-300 ribu. Hanya saja, kami bertiga nego sehingga bisa dapat harga Rp 150 ribu PP. Yey! Tak lupa sebelum berangkat berlayar, kami membeli bekal air mineral di toko kelontong dekat jembatan ini.
superb!

Subhanallah, perahu mulai bergerak dan mulai menyusuri sungai dengan kiri-kanan ditumbuhi tanaman rawa yang lebat dan bakau juga. Langit cerah kebiruan menghias latar gunung kapur yang gagah terbentang mengelilingi sungai. Beberapa kali bahkan perahu harus lewat di bawah goa atau diapit karang-karang bebatuan. Keren, ini baru jalan-jalan. Saya yang dulu sering menikmati di televisi perjalanan menyusuri sungai itu, kini saya bisa rasakan sendiri. Alhamdulillah! Bersyukur saya bisa menikmati kuasa Illahi ini.
Naik perahu pun ada sensasi tersendiri. Apalagi kalau kita duduk di ujung depan perahu, sensasi belok kanan tikung kiri, menghindari bebatuan di tengah sungai, masuk di antara karang yang sempit bakal jadi sensasi tersendiri, seolah mengemudi perahu itu. Alhamdulillah!
 Pemandangannyaa....
 Ini juga kereen, lewat bawah gua batu

perahunya seperti ini, yang papasan, keren kan 

Sekitar 15 menit perahu berjalan, kami sampai di desa Berua, desa yang dikelilingi gunung-gunung kapur yang membentang dengan indahnya. Di desa ini ditinggali 15 kepala keluarga. Mata pencaharian mereka diantaranya bertani, tambak ikan, dan usaha sewa perahu seperti bapak yang tadi. Kebanyakan hasil bertani maupun ikan-ikan mereka manfaatkan sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tak lupa setelah menurunkan kami, bapak tadi menawarkan untuk mampir ke rumahnya untuk sekedar minum. Kami pun berterima kasih atas kebaikannya dan juga yang penting bikin janji kapan kami dijemput.
selamat datang di desa Berua

Di antara 15 KK disini, ada semacam kepala desa ini. Namanya pak Beta, atau Daeng Beta. Rumahnya panggung, paling dekat dengan akses menuju goa telapak tangan. Di rumahnya, setiap pengunjung wajib menulis identitas di buku tamu. Oya, di desa Berua, selain banyak sekali spot untuk mengambil foto, disini juga terdapat goa telapak tangan manusia purba. Konon katanya di goa ini dulu ditinggali manusia purba. Kami sebenarnya juga kesulitan mencari telapak tangan manusia purba itu, meski kami bergabung dengan rombongan 4 orang dari Makassar. Tapi yasudah gag papa yang penting sudah ketemu gua nya.
berlatar gunung kapur keren

Sambutan hangat desa Berua

Terima kasih ya Allah memberiku kesempatan ke bumi indah Mu ini.

Perjalanan menuju Goa Telapak Tangan Purba

Mencari "Bidadari"
Dirasa cukup menikmati desa Berua dan perahu jemputan juga sudah waktunya datang, kami pamit Daeng Beta untuk pulang. Kebetulan perahu yang akan kami tumpangi sudah standby di dekat jalan masuk desa ini.
Puas dengan desa Berua, jangan keburu pulang dulu. Karena ada telaga Bidadari yang patut dikunjungi juga. Untuk mencapai telaga ini, bilang saja ke bapak pengemudi perahu minta diturunkan di telaga bidadari. Dari tepian daratan itu kita akan berjalan sekitar 10 menit mencapai telaga yang dimaksud. Nanti bakal ada penduduk yang mengantar kita hingga ke telaga.

Trek jalan ke telaga bidadari sangat bermacam-macam. Trek awal masih areal sawah, selanjutnya jalan mendaki cukup curam, terus melalui terowongan batu yang mengharuskan menunduk. Trek yang menantang selanjutnya berjalan di rawa-rawa yang agak berlumut, hiiihii… Terakhir kita menuruni daratan hingga sampai di telaga/taman bidadari yang dimaksud.
Disinilah bidadarinya, haha *mana?

Telaga atau di plakat disebut taman bidadari tidak terlalu special dari sisi pemandangan. Hanya saja tempat ini unik, mirip seperti kubangan tapi seperti tertata rapi pahatan-pahatan batuannya. Tempatnya yang lebih rendah dari dataran menyebabkan telaga ini Nampak tersembunyi. Mungkin karena eksotis inilah disebut telaga bidadari. Kami sempatkan untuk membilas kaki dan mencuci muka di telaga ini. Lumayan segar. Tak lupa kegiatan yang terpenting kami, foto-foto. :D

Setelah menyegarkan diri di telaganya bidadari ini, kami kembali ke perahu dan melanjutkan perjalanan pulang. Di bawah terik matahari sore yang masih menyengat panas untuk ukuran kota di sekitar garis lintang 0 derajat, kami berjalan hingga pertigaan semen tadi. Pas kami sampai di pertigaan, pas ada angkot ke terminal Daya lewat. Sip! Akhirnya kami pulang dengan selamat, tenang dan senang.
Mau kemana selanjutnya? Hehe…

Rincian biaya :
  1. Angkot jurusan pangkep dari Terminal Daya ke pertigaan: Rp. 10.000
  2. Sewa perahu: Rp 150.000 PP
  3. Tukang pijat kaki: gratis, minta teman kos. Hehe
  4. Air minera dan lain-lain harganya ratarata sama dengan di Makassar.

6 komentar:

  1. ada namaku dan fotoku--- mbayar lhooo... hahaha

    BalasHapus
  2. asyeeemmm...bagoes amaaattt T.T

    BalasHapus
  3. @agung: hahahah.. wes tak licenci dengan menyebut namamu :D

    @mas huda: ini pembalasan karena nggak jadi ke Lawu,, :p

    @fachmi: bingiiit.... :D

    BalasHapus
  4. dapet bidadari kaga tuh?? pokoknya end of the year ini temenin ya kakksss

    BalasHapus
  5. Sulawesi indah juga ya ? :D kapankapan pengin ke sana...~

    BalasHapus

Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..

jagoBlog.com