Rabu, Desember 19, 2012

PNS Kotor, Pajak Koruptor?

tulisan mbak Sinta Yudisia, penulis yang juga alumni STAN yang suaminya bekerja di Kementerian Keuangan
............

Untuk kesekian kali, gaji PNS kembali disebut-sebut sebagai pemborosan Negara. Salah satu yang sering dituding paling boros adalah departemen Keuangan, dengan remunerasi yang lebih tinggi dari gaji pokok. Departemen lain konon sering memprotes dan entah berapa kali, issue remunerasi ini akan dihapus. Pertimbangannya boros, dan banyak orang Pajak yang menduplikasi kerja Gayus alias sabet sana sini sehingga memiliki asset rumah tak kira-kira, rumah dan deposito berbunga-bunga.
Sepertinya, stigma pegawai Pajak memboroskan uang Negara dan penuh tikus-tikus koruptor sangat sulti dihapus. Bahkan suatu saat, saya pernah bertemu pejabat dari BUMN yang mengatakan “saya kenal semua orang Pajak dan semuanya busuk!” 
Eh? Apa ia kenal suami saya? Apa ia kenal teman-teman saya?
Sedikit kisah dibawah semoga membuat kita tersadar bahwa di antara sekian banyak koruptor, diantara penjahat, diantara para perampok Negara masih terdapat puluhan, ribuan, ratusan ribu pegawai jujur yang mencintai Indonesia. Di samping itu takut pada sebuah analogi sederhana : makan uang haram, besok-besok anak-anaknya jadi orang yang hanya bisa mempermalukan orang tua.

1. Mutasi berkala 
Rutin, sekitar 4 tahun sekali, seluruh pegawai pajak dan keluarganya cemas. Mutasi kemana lagi? Keluar Jawa? Sumatera Kalimantan? Atau ke tempat yang bahkan tak tercantum dalam peta?
Bila anak masih kecil-kecil, biasanya selalu ikut suami pindah. Tapi seiiring usia anak, sangat sulit memboyong kesana kemari, lagi pula tak semua anak cepat beradaptasi. Bahkan terkadang, mutasi sangat singkat, 2 tahunan saja. Saya pribadi bukan pegawai pajak, tapi cukup dekat untuk tahu kondisi teman-teman dan tentu saja, keluarga kami sendiri.
Mutasi biasanya diikuti sejumlah uang, yang jumlahnya, hanya menghitung ongkos keberangkatan istri, anak , dan pembantu. Di luar itu : mengontrak, masuk sekolah, membayar hutang dll, mana mungkin dipikirkan Negara?
Maka, ketika orangtua heran, kami tak punya alat elektronik hebat macam televisi layar datar, home theatre atau mobil ratusan juta; saya menjelaskan : tabungan kami biasanya terkumpul 3-4 tahun. Dan langsung habis dipakai saat suami mutasi. Teman-teman pun mengaku demikian, bahwa mutasi regular benar-benar menguras habis kantong.
Maka, akhirnya banyak keluarga Pajak yang memilih tetap tinggal di kampung halaman, berpisah dari suami tercinta. Kalau suami hanya Sumatera/Kalimantan, okelah. Kalau Papua? Ongkos berjuta-juta sekali PP tak cukup dari gaji+ tunjangan. Mereka rela menabung berbulan-bulan untuk bertemu anak istri tercinta. Kalau mau korupsi, tentu bisa. Tetapi siapa menjamin? Banyak teman-teman bertahan dengan suami PJKA – pulang jumat kembali ahad.
Saya sungguh salut pada pegawai pajak yang masih mencintai keluarga mereka, rela berburu tiket murah, rela menempuh perjalanan jauh dengan kereta api, bis, travel…bahkan kapal dan perahu! Orang-orang yang mencintai keluarga, mencintai tanahair dan bangsa. Terkadang, mereka malah tak bisa pulang akhir tahun karena harga tiket yang melangit!

2. Verifikasi lapangan
Kalau IRS Amerika sangat mentereng, dilengkapi senjata api, pegawai pajak verifikasi lapangan atau visit wajib pajak dengan mobil dinas. Name tag dan baju rapi + dasi. Tak selalu disambut pengusaha dengan ramah, seringkali disambut anjing-anjing galak atau pembantu/ satpam yang berkata : Tuan gak ada! Gak tau kemana!
Verifikasi lapangan di tengah hujan, panas, pojok pajak di mall-mall terkadang hari libur hingga malam menjelang. Sering saya berseloroh : ada duitnya gak, Mas? Suami hanya tertawa. Yang mengharukan, bila Pojok Pajak-hari libur di Mall mewah yang tidak terbayang oleh pegawai , maka anak istri menjenguk untuk sekedar jalan melihat-lihat. Melihat-lihat saja. Suami sempat bercerita bahwa ia ikut jaga pojok pajak di mall yang menyediakan counter/tenant permata. Takjub melihat permatanya, ingin membelikan saya sebuah cincin tapi lihat harganya kayaknya mending lupakan saja….hehe. Lagian, kalau saya pakai cincin begitu, nanti malah gak bisa tidur, kepikiran harus bayar pakai apa 

3. Suap
Yang ini berseliweran di kantor. Tapi sesungguhnya, bukan hanya di kantor Pajak saja kan? Guru, polisi, anggota dewan, dll berpotensi sebagai koruptor. Cara korupsi? Gampang saja. Kalau WP kena pajak sampai 1 M, bisa dinihilkan atau dikurangi hingga 100 juta. WP bisa membayar petugas pajak 100 juta. Toh ia sudah untuk 800 juta.
Memang, ada orang-orang Pajak yang kekayannya menakjubkan. Rumah di kompleks mewah, mobil rakitan Eropa. Tapi yang macam ini sedikit, jauh lebih banyak yang tetap dalam keadaan sederhana & prihatin.
Kenapa?
Indonesia bertradisi religi. Banyak orang percaya karma, takut berbuat buruk karena besok akan dibalas juga, langsung atau mengenai anak keturunan. Belum lagi, cerita kantor yang menyebut seorang pejabat X, dulu sangat suka korup. Dampaknya, main perempuan. Bayangkan kekayaannya : sekali main dengan perempuan, ia membelikan baju butik untuknya satu etalase! Akhir hidupnya menyedihkan, uang korupsi yang M-M-M habis gak karuan. Menjelang meninggal pak X bahkan tak punya uang hanya untuk sekedar menambal ban.
Cerita-cerita macam itu makin menguatkan pegawai pajak : apa yang dimakan anak istri, adalah yang halal!

4. Kontraktor, penyicil
Banyak pegawai pajak yang masih ngontrak hingga belasan tahun, baru mampu menyicil rumah dan mengumpulkan DP di tahun ke 15. Rumah dulu atau mobil dulu? Tergantung…yang punya kemampuan mencicil rumah dan mobil, biasanya yang suami istri bekerja. Apa gajinya kurang? Banyak atau sedikit, harus disyukuri. Tetapi mutasi regular, harga-harga yang menanjak cepat, membuat pegawai pajak pun harus berhitung cermat apalagi bila memiliki anak lebih dari 2! Askes dan pensiun hanya sampai anak ke2, bila ingin mempersiapkan masa depan anak 3,4,5 dst maka harus semakin mengencangkan ikat pinggang

5. Bisnis sampingan
Itulah sebabnya, para istri pegawai pajak mengusahakan bisnis sampingan seperti catering, laundry, rental. Pegawai pajak tak sempat lagi memikirkan bisnis sampingan –meski ada yang memang trampil berbisnis- sebab waktunya habis dari jam 7- 5 sore mengurus hal ihwal pajak yang semakin mencekik di akhir tahun atau sekitar April-Mei.
Pegawai pajak, sama saja dengan pegawai lain yang di tanggal 10-15, mulai banyak-banyak berdoa untuk sampai di tanggal 31. Para istri mencermati uang, membaginya susah payah. Bila ada energy sisa, beberapa pegawai pajak mengajar Brevet. Bila tidak, maka ansich dari pendapatan bulanan 

6. Keluarga sakinah
Meski bertahan dalam stigma, bertahan dalam tuduhan dan issue hapusnya remunerasi,bertahan dalam mutasi sekonyong-konyong yang menghabiskan uang hingga ke rupiah terkecil; mereka yang tetap jujur istiqomah mendapatkan banyak hal berharga yang jauh lebih mahal dari uang ratusan juta, milyaran. Sebuah keluarga sederhana yang solid, dengan anak-anak sehat dan pintar yang menghargai seorang ayah jujur yang tulus.
Saya sering terharu melihat keluarga pegawai Pajak yang tetap sederhana dalam rumah kecilnya, dalam kendaraan roda dua, pakaian sederhana dan semua pola hidup ng jauh dari unsure mewah Tetapi melihat betapa terhormatnya seorang lelaki yang bertanggung jawab menafkahi keluarga dengan harta halal, saya yakin, keluarga-keluarga ini akan selamat dunia akhirat InsyaAllah.

Dan di akhir tahun, para pegawai Pajak sibuk mengejar WP yang enggan menunaikan kewajiban pajak, demi memenuhi kas Negara untuk menjalankan APBD dan APBN. Sebagai istri dengan pemikiran sederhana saya bertanya, melihat suami yang kepayahan luar biasa baik fisik dan mental, “ emang, kalau memenuhi target, dapat apa Mas? Penghargaan atau kompensasi dari Negara?”
Jawabannya saya sudah tahu, gelengan kepala.
Kepada anak-anak, saya tekankan.
Bahwa ayahnya adalah salah satu pegawai jujur yang hingga kini masih bersepeda motor kemana-mana. Ayahnya bukan pegawai rendahan, tapi kepala seksi.
“Kapan kita beli mobil?” kata anakku.
4 anak dengan sepeda motor memang sudah tak layak.
“Secepatnya,” kataku. “tahun depan, InsyaAllah.”
Aku mengingatkan anak-anakku bahwa ketika kampi membeli rumah seluas 200m2 di Surabaya, semua adalah rizqi Allah SWT. Kami saat itu tidak punya kemampuan, tapi Allah membantu. Kalau mau beli mobil sekarang dengan uang ‘panas’, bisa. 
“Tapi apa kalian mau, rumah kita mewah , mobil banyak, tapi rumah kita selalu berisi pertengkaran? Kalian tak sehat jiwaraga? Ada sebuah kunci lain dalam rizqi bernama barakah.”
Alhamdulillah, anak-anak memahami kejujuran. Mereka taat pada orangtua, rajin mengaji, suka mendengarkan nasihat. Mereka bersemangat mendiskusikan beragam hal mulai agama, politik, ummat, ilmu pengetahuan. Kalau ada masa-masanya nakal…ya, tak mungkin selamanya baik-baik saja . Tapi, bahkan saat anak-anak dalam keadaan sangat memancing kesabaran, ucapan ini sangat bertuah : Ummi nggak ridho! Siapa yang mau doa Ummi?
Bila, tanggal tua, meja makan kami kosong, maka anak-anak akan berkata,
“…..Ummi Abah lagi bersabar ya?”

Bukan hanya anak-anak kami yang demikian. Banyak anak-anak lain yang dibesarkan oleh orangtua yang jujur, memiliki komitmen dalam hidup.
Memiliki anak yang sholih, taat, tampaknya harus dimulai dari rizqi yang halal.

Jumat, Desember 07, 2012

Gagasan

Iseng-iseng, nyoba-nyoba. Selama tiga hari, tiga artikel gagasan saya kirim ke Jawa Pos berturut-turut.
Alhamdulillah, hari keempat nongol salah satu gagasan saya..

Jawa Pos, Jumat 7/12/2012 Halaman 4 Kolom Gagasan

*maaf gambarnya amburadul gara2 koneksi upload super mini. klik gambar kalau pingin memperbesar

Alhamdulillah di Jawa Pos sudah pernah mejeng nama ane.. minimal penikmat Jawa Pos dengan ratus ribuan ekslempar per harinya, pernah tahu nama saya :)
Selanjutnya Opini, selanjutnya masuk Kompas. buku, buku, buku buku....

Rabu, Desember 05, 2012

Suara Rakyat

Suara Rakyat Kecil untuk Ahok

Kalau saya sedang browsing dan kebetulan koneksi sedang ngebut, saya selalu sempatin untuk liat video sepak  terjang pak Jokowi dan Pak Basuki (Ahok) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Video yang diupload akun dengan nama PemprovDKI ini beberapa saya download dan saya simpan di harddisk.

Saya paling tertarik kalau Ahok lagi marah-marah sama stafnya sendiri. Ya, terang aja ya marah, anggaran yang kecil-kecil di mark up (dilebih-lebihkan) hingga 3 sampe 4 kali, bahkan yang seharusnya nggak ada jadi malah ada. Yang harusnya untuk gaji orang kecil, malah dikurangin sama akal-akalan pejabat dinas. Yang paling koplak #dan favorit saya, yang ini:



Di video itu, mereka sedang rapat anggaran Dinas PU. Si Ahok dengerin si Kepala Dinas PU yang botak itu (maaf nggih pak, saya sebut botak karena identik pak dengan yang lain, hehe) yang lagi presentasi anggaran dinasnya. Ketika si Ahok menanyakan detail anggaran "nggak jelas" seperti: Perencanaan Pemeliharaan bla bla blaa, atau Pengarsipan data dan Pembangunan sistem data Elektronik (bahasa arek teknik mudah: scanning). Ahok menanyakan itu, kontan semua ruangan bingung. Celingak celinguk, tolah toleh. Kayak nggak paham banget dengan apa yang ia tulis dan ia presentasikan. Untunglah, Ahok bisa nahan emosi saat itu. Saya, malah cekikan liat si kepala Dinas yang kagak tau scanner itu berapa, seberapa ukurannya dan (mungkin) nggak tau buat apa sebenarnya. Haha... padahal dia bukan anak SMA lagi ya, wong saya yang orang cilik aja tau dari SMA  kalau scanner itu paling banter 5 juta lah ya.. Bisa-bisanya dimark up awalnya sampai 600 juta. Terus ketauan Ahok boongnya, diturunin jadi 170juta, hanya untuk beli scanner. Ukurannya A4, A3, A2 aja bingung, padahal mereka sehari-hari kerjaanya ya sama kertas-kertas besar itu. Apalagi mereka rata-rata anak teknik, kuliah di kampus yang mentereng, masak ukuran kertas aja celingukan. Setahu saya nih pak, scanner,fotokopi sama printer itu "cuman" 5-7 juta maksimal dengan merek terbaik. Kalau saya, 170 juta rupiah, mending beli mobil daripada printer. Haha...
Anehnya lagi, Dinas sekeren PU belum punya scanner kawan. Oh! Selama ini kemana aja, bung! Ke laut?

Saya mulai berpikir, nampaknya kegiatan markup anggaran, mengambil jatah dari APBN/APBD nampaknya nggak hanya berlaku di jajaran dinas DKI saja. Siapa yang nggak tergoda melihat uang gede-gede hasil iuran rakyat kecil, tanpa susah payah. Yang nggak tergoda, ya cuman yang hati aja. Untuk kali ini saja, kita tahu bagaimana pejabat-pejabat dinas mempermainkan uang kita. Sebelum-sebelumnya, gimana?

Sebagai rakyat kecil dan jelata, yang kadangkala "manja" dengan bantuan dan subsidi pemerintah, video ini seperti hal yang biasa saja. Tidak ada istimewanya. Namun sebagai pemuda, maupun sebagai anak bangsa, saya benar-benar interest soal video yang diunggah ini. Saya tidak tahu, untuk apa saya habiskan waktu "pengangguran" ini untuk menonton video dengan durasi puluhan menit, hingga kadangkala berjam-jam ini. Saya hanya merasa, ini aset dan bahan belajar selama "nganggur" ini untuk mempelajari gaya kepemimpinan seseorang. Saya apresiasi baik niatan pak Jokowi - pak Ahok ngunggah video rapat dan aktivitasnya di Youtube. Tidak hanya untuk pemuda, kalangan pejabat, atau praktisi dan pengamat politik saja. Namun, rakyat kecil dan jelata juga butuh tontonan ini. Setidaknya agar mereka tahu, orang-orang yang mereka pilih di bilik kecil itu, "ngapain aja sih kalau udah kepilih".

Tapi, semoga rakyat kecil juga punya internet yang memadai ya, Pak...
hehe..

Senin, Desember 03, 2012

The Extreme Outlier

Outlier. Entah sejak kapan kata ini tercam di dalam benak saya. Istilah ini meminjam dari kawan saya di kampus ITS dulu waktu masih jaman2 maba gundul (maba ITS identik gundul karena perintah senior). Ia mengartikannya sebagai orang yang berusaha keluar dari rel normatif kebanyakan orang. Ketika orang memilih itu itu aja, dia akan memilih ini. Istilahnya, mungkin out of the box lebih mainstream sering kita dengar. Dalam artian saya, outlier bertindak out regularly, diluar kebiasaan namun tetap postif, bahkan lebih positif dampaknya.

----

Hari itu wisuda program diploma 1 dan diploma 3 Keuangan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Hari itu pula, saya yang baru tidur jam 1 an dini hari, mendadak harus bangun jam tiga dini hari itu pula untuk mengikuti prosesi wisuda. #Eh, maksudnya ikut-ikutan ngeramein wisuda kawan-kawan. Hemm.. tidur cuman 2 jam, mandi kilat lanjut ke kampus 15 menit setelah mandi, benar-benar cetar membahana #OpoSihIki. Apalagi bagi orang yang nggak ikut wisuda seperti saya. Hehe... Untuk apa sepagi itu sudah rapi duduk dalam bis yang berjajar ke kampus? Ya untuk menghadiri prosesi wisuda kawan-kawan/saudara-saudara saya sekampus, dan (harusnya) juga wisuda saya. :) :) Demi saudara-lah istilahnya, mungkin sama seperti orang tua dan keluarga wisudawan yang rela jauh-jauh dari kampung meninggalkan kota domisilinya demi mengikuth wisuda anak kesayangannya di Sentul International Convention  Center (SICC), Bogor.

Jauh sebulan sebelumnya, saya sudah membulatkan niat untuk nggak ikutan wisuda saya. Pasalnya, ibu dan bapak di kampung ternyata akan kesulitan kalau dari kampung-Bogor, akan memakan fisik dan materi mereka berdua. Saya sependapat. Akhirnya saya usul, saya tetap ke Jakarta selama seminggu waktu wisuda itu, dan uang pendaftaran wisuda ditabung untuk ber"wisuda" dengan orang lain, dengan orang-orang yang menghabiskan tenaganya di jalan, untuk orang-orang yang menghabiskan suaranya di perempatan jalan, untuk mereka yang menguras keringatnya di jalanan demi keluarganya di rumah.

untuk mereka :)

Bapak ibuk sepakat,  hati saya lega. Lega karena bapak ibu tidak kesusahan transportasi dan fisiknya untuk ke Bogor, juga tidak bingung soal penginapan dan harus cuti minimal 3 hari kerja buat ibu. Saya juga bisa mencari kenalan dan kawan baru dan saudara baru sebanyak-banyaknya di kampus pusat dan ibukota ini.

Pagi hari saat wisuda. Aku dinyatakan sebagai wisudawan dengan cara yang agak nyeleneh, unik dan aneh. Dengan modal jas bikinan bapak ibu, dasi dan setelan yang pas dengan dasinya, Ceklik! difoto seorang kawan. Jadilah foto dengan latar SICC saya upload di facebook pagi itu juga. Kontan alhamdulillah, teman-teman memberi komentar positif dan banyak yang mendoakan. Bahkan juga tak sedikit yang memberi ucapan "Selamat ya Ton, atas wisudanya,". Bahkan ada kakak senior di kampus ITS mencak-mencak, wisudaku dahului wisudanya.

Dalam hati berkata, "saya memang lulusan kawan, tapi saat itu tidak benar-benar wisuda, kawan..... hihihihiii".
"wisudawan" tanpa toga

Ternyata kisah aneh ini tidak berhenti sampai sini saja. Dapat tiket undangan (seharga 100ribu) dikasih gratis kawan saya, karena adiknya nggak mau masuk gedung. Tapi sayangnya, karena kelamaan nggak masuk gedung, sedangkan wakilnya pak Menteri Keuangan sudah masuk gedung, praktis kami yang di luar gedung nggak dibolehin masuk dengan alasan menghormati pak Menteri.

Jujur men, saya miris lho! Menteri maupun saya bahkan bapak-ibu yang juga dilarang masuk itu juga sama-sama manusia kok. Benar-benar sama. Kami cuman ingin hak kami masuk, dan masuk pun melalui pintu tribun, tidak mengganggu hak bapak ceramah (atau apalah istilahnya) di depan podium. Podium dan tribun benar-benar jauh, bahkan orang sliweran nggak akan terlalu nampak terlihat. Mungkin saya nggak marah sama bapak, tapi kecewa saja karena bapak tidak menginstruksikan panitia untuk membiarkan saja kami masuk. Atau mungkin panitia yang nggak konsultasi dulu sama asisten bapak, kami dibolehkan masuk apa nggak. Gini nih, pejabat. Kalau sudah jadi orang "besar" ya janganlah membuat kecil orang yang "kecil". 
Contoh kecil lain, kawalan bapak ibu pejabat di jalan raya, yang sampai merelakan orang lain minggir dan berhenti, terhenti aktivitasnya karena satu orang lewat. Pak, sungguh itu tidak keren. Lebih keren dan saya hormat dengan mobil ambulance yang lewat, ikhlas untuk keadaan darurat itu. Atau mobil bapak ibu mau saya samakan dengan mobil ambulance, dan isinya ambulance sama dengan isi mobil bapak ibu? #PikirSendiri :P #ups... hehe Maaf pak bu, saya memang gini, suka ceplas-ceplos namun mikir dengan logisnya. Saya lebih suka kalau panjenengan bisa merasakan kemacetan yang rakyat Anda rasakan. Bagaimana mau mengatasi masalah rakyat kalau Anda tidak pernah merasakan, bagaimana mengatasi banjir kalau tidak pernah kebanjiran sendiri, bagaimana tau cara cerdas mengatasi macet kalau tiap lewat jalan selalu diberi jalur khusus anti macet?.
Yuk mikir pak. eh bukan mikir cara menang pilkada ye.. mikir rakyat!

Balik ke topik lagi, sobat.. Maaf maaf emosi :D :D #ambil wudhu, nulis lagi. :)

Ajaibnya, setelah 3 jam di depan gedung kepanasan dengan jas keren yang sudah tanggal saya pegang karena gerah ini, pintu tribun dibuka. Baru beberapa menit duduk, dapat sms.

**
Saya duduk di kursi utama, kursi undangan, kursi VIP. :D
Sms tadi ajakan pegawai Balai Diklat Keuangan (BDK) Manado yang datang ke SICC sebagai undangan. Saya diajak masuk melalui pintu VIP. Untung jas saya matching dengan undangan "sebenarnya". Hampir sama dengan Pak Budi Setiawan, dosen Akuntasi yang hadir juga disana sebagai undangan BDK Malang. Duduk bersama beliau, bersama para pegawai kementerian keuangan, dosen-dosen STAN. Dan dengan modal jas, tidak ada yang curiga. *setelah pulang, mikir lagi, janggut juga mendukung penyamaran :D

Eh, tiba-tiba pak Budi nunjuk saya sembari ngobrol dengan dua orang dosen STAN. "Nah, kalau ini nih, ini sebenarnya mahasiswa bu, sebenarnya ini wisudawan duduk di belakang. Tapi ini nih, akal-akalan aja dia pake jas, duduk di sini," ucapnya sambil ketawa, entah bangga atau malah emang kocak.
Saya pun melempar senyum ke dua dosen tadi, dan nahan malu juga *dikiit :P

Senang, akhirnya saya hanyut dalam kegembiraan teman-teman. Bangga, meski bapak ibu saat itu di rumah, mereka juga pasti senang.

----
Sebulan kemudian, saya pamerin foto teman-teman wisuda ke ibu, beberapa ada foto saya.
Nggak nyadar, mata ibu berkaca-kaca, suaranya mendadak parau. "Seharusnya meski tanpa orang tua, kamu wisuda le," tutur ibu lirih.
Saya menghela nafas dalam, hanya mampu berkata dalam hati,"Saya lebih senang seperti ini, sudah dipertimbangkan akan lebih baik seperti ini, meski terlihat aneh, tapi saya pun bahagia tanpa wisuda, bahkan mungkin mereka yang wisuda tidak memiliki kebahagiaan yang aku rasakan,".
Menurutku, bahagia wisuda boleh saja, hanya saja ia semu. Wisuda bukan "Wis.... uda.." (selesai,red). Amanahnya lho yang saya pikirin, habis ini kerja itu artinya akan menjadi diri kita 3/4 dari utuh sejati diri kita. (1/4 lagi apa yaa :P, hehe...)


Sewaktu sambutan (baca: dagelan) perwakilan mahasiswa di depan kepala BDK, dosen STAN dan kawan-kawanku. Tak lupa bawa contekan sambutan :) :)

-----
tiba-tiba ada chat masuk. kawan saya di ITS. "ckckck... Outlieeerr!"

jagoBlog.com