Senin, Desember 03, 2012

The Extreme Outlier

Outlier. Entah sejak kapan kata ini tercam di dalam benak saya. Istilah ini meminjam dari kawan saya di kampus ITS dulu waktu masih jaman2 maba gundul (maba ITS identik gundul karena perintah senior). Ia mengartikannya sebagai orang yang berusaha keluar dari rel normatif kebanyakan orang. Ketika orang memilih itu itu aja, dia akan memilih ini. Istilahnya, mungkin out of the box lebih mainstream sering kita dengar. Dalam artian saya, outlier bertindak out regularly, diluar kebiasaan namun tetap postif, bahkan lebih positif dampaknya.

----

Hari itu wisuda program diploma 1 dan diploma 3 Keuangan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Hari itu pula, saya yang baru tidur jam 1 an dini hari, mendadak harus bangun jam tiga dini hari itu pula untuk mengikuti prosesi wisuda. #Eh, maksudnya ikut-ikutan ngeramein wisuda kawan-kawan. Hemm.. tidur cuman 2 jam, mandi kilat lanjut ke kampus 15 menit setelah mandi, benar-benar cetar membahana #OpoSihIki. Apalagi bagi orang yang nggak ikut wisuda seperti saya. Hehe... Untuk apa sepagi itu sudah rapi duduk dalam bis yang berjajar ke kampus? Ya untuk menghadiri prosesi wisuda kawan-kawan/saudara-saudara saya sekampus, dan (harusnya) juga wisuda saya. :) :) Demi saudara-lah istilahnya, mungkin sama seperti orang tua dan keluarga wisudawan yang rela jauh-jauh dari kampung meninggalkan kota domisilinya demi mengikuth wisuda anak kesayangannya di Sentul International Convention  Center (SICC), Bogor.

Jauh sebulan sebelumnya, saya sudah membulatkan niat untuk nggak ikutan wisuda saya. Pasalnya, ibu dan bapak di kampung ternyata akan kesulitan kalau dari kampung-Bogor, akan memakan fisik dan materi mereka berdua. Saya sependapat. Akhirnya saya usul, saya tetap ke Jakarta selama seminggu waktu wisuda itu, dan uang pendaftaran wisuda ditabung untuk ber"wisuda" dengan orang lain, dengan orang-orang yang menghabiskan tenaganya di jalan, untuk orang-orang yang menghabiskan suaranya di perempatan jalan, untuk mereka yang menguras keringatnya di jalanan demi keluarganya di rumah.

untuk mereka :)

Bapak ibuk sepakat,  hati saya lega. Lega karena bapak ibu tidak kesusahan transportasi dan fisiknya untuk ke Bogor, juga tidak bingung soal penginapan dan harus cuti minimal 3 hari kerja buat ibu. Saya juga bisa mencari kenalan dan kawan baru dan saudara baru sebanyak-banyaknya di kampus pusat dan ibukota ini.

Pagi hari saat wisuda. Aku dinyatakan sebagai wisudawan dengan cara yang agak nyeleneh, unik dan aneh. Dengan modal jas bikinan bapak ibu, dasi dan setelan yang pas dengan dasinya, Ceklik! difoto seorang kawan. Jadilah foto dengan latar SICC saya upload di facebook pagi itu juga. Kontan alhamdulillah, teman-teman memberi komentar positif dan banyak yang mendoakan. Bahkan juga tak sedikit yang memberi ucapan "Selamat ya Ton, atas wisudanya,". Bahkan ada kakak senior di kampus ITS mencak-mencak, wisudaku dahului wisudanya.

Dalam hati berkata, "saya memang lulusan kawan, tapi saat itu tidak benar-benar wisuda, kawan..... hihihihiii".
"wisudawan" tanpa toga

Ternyata kisah aneh ini tidak berhenti sampai sini saja. Dapat tiket undangan (seharga 100ribu) dikasih gratis kawan saya, karena adiknya nggak mau masuk gedung. Tapi sayangnya, karena kelamaan nggak masuk gedung, sedangkan wakilnya pak Menteri Keuangan sudah masuk gedung, praktis kami yang di luar gedung nggak dibolehin masuk dengan alasan menghormati pak Menteri.

Jujur men, saya miris lho! Menteri maupun saya bahkan bapak-ibu yang juga dilarang masuk itu juga sama-sama manusia kok. Benar-benar sama. Kami cuman ingin hak kami masuk, dan masuk pun melalui pintu tribun, tidak mengganggu hak bapak ceramah (atau apalah istilahnya) di depan podium. Podium dan tribun benar-benar jauh, bahkan orang sliweran nggak akan terlalu nampak terlihat. Mungkin saya nggak marah sama bapak, tapi kecewa saja karena bapak tidak menginstruksikan panitia untuk membiarkan saja kami masuk. Atau mungkin panitia yang nggak konsultasi dulu sama asisten bapak, kami dibolehkan masuk apa nggak. Gini nih, pejabat. Kalau sudah jadi orang "besar" ya janganlah membuat kecil orang yang "kecil". 
Contoh kecil lain, kawalan bapak ibu pejabat di jalan raya, yang sampai merelakan orang lain minggir dan berhenti, terhenti aktivitasnya karena satu orang lewat. Pak, sungguh itu tidak keren. Lebih keren dan saya hormat dengan mobil ambulance yang lewat, ikhlas untuk keadaan darurat itu. Atau mobil bapak ibu mau saya samakan dengan mobil ambulance, dan isinya ambulance sama dengan isi mobil bapak ibu? #PikirSendiri :P #ups... hehe Maaf pak bu, saya memang gini, suka ceplas-ceplos namun mikir dengan logisnya. Saya lebih suka kalau panjenengan bisa merasakan kemacetan yang rakyat Anda rasakan. Bagaimana mau mengatasi masalah rakyat kalau Anda tidak pernah merasakan, bagaimana mengatasi banjir kalau tidak pernah kebanjiran sendiri, bagaimana tau cara cerdas mengatasi macet kalau tiap lewat jalan selalu diberi jalur khusus anti macet?.
Yuk mikir pak. eh bukan mikir cara menang pilkada ye.. mikir rakyat!

Balik ke topik lagi, sobat.. Maaf maaf emosi :D :D #ambil wudhu, nulis lagi. :)

Ajaibnya, setelah 3 jam di depan gedung kepanasan dengan jas keren yang sudah tanggal saya pegang karena gerah ini, pintu tribun dibuka. Baru beberapa menit duduk, dapat sms.

**
Saya duduk di kursi utama, kursi undangan, kursi VIP. :D
Sms tadi ajakan pegawai Balai Diklat Keuangan (BDK) Manado yang datang ke SICC sebagai undangan. Saya diajak masuk melalui pintu VIP. Untung jas saya matching dengan undangan "sebenarnya". Hampir sama dengan Pak Budi Setiawan, dosen Akuntasi yang hadir juga disana sebagai undangan BDK Malang. Duduk bersama beliau, bersama para pegawai kementerian keuangan, dosen-dosen STAN. Dan dengan modal jas, tidak ada yang curiga. *setelah pulang, mikir lagi, janggut juga mendukung penyamaran :D

Eh, tiba-tiba pak Budi nunjuk saya sembari ngobrol dengan dua orang dosen STAN. "Nah, kalau ini nih, ini sebenarnya mahasiswa bu, sebenarnya ini wisudawan duduk di belakang. Tapi ini nih, akal-akalan aja dia pake jas, duduk di sini," ucapnya sambil ketawa, entah bangga atau malah emang kocak.
Saya pun melempar senyum ke dua dosen tadi, dan nahan malu juga *dikiit :P

Senang, akhirnya saya hanyut dalam kegembiraan teman-teman. Bangga, meski bapak ibu saat itu di rumah, mereka juga pasti senang.

----
Sebulan kemudian, saya pamerin foto teman-teman wisuda ke ibu, beberapa ada foto saya.
Nggak nyadar, mata ibu berkaca-kaca, suaranya mendadak parau. "Seharusnya meski tanpa orang tua, kamu wisuda le," tutur ibu lirih.
Saya menghela nafas dalam, hanya mampu berkata dalam hati,"Saya lebih senang seperti ini, sudah dipertimbangkan akan lebih baik seperti ini, meski terlihat aneh, tapi saya pun bahagia tanpa wisuda, bahkan mungkin mereka yang wisuda tidak memiliki kebahagiaan yang aku rasakan,".
Menurutku, bahagia wisuda boleh saja, hanya saja ia semu. Wisuda bukan "Wis.... uda.." (selesai,red). Amanahnya lho yang saya pikirin, habis ini kerja itu artinya akan menjadi diri kita 3/4 dari utuh sejati diri kita. (1/4 lagi apa yaa :P, hehe...)


Sewaktu sambutan (baca: dagelan) perwakilan mahasiswa di depan kepala BDK, dosen STAN dan kawan-kawanku. Tak lupa bawa contekan sambutan :) :)

-----
tiba-tiba ada chat masuk. kawan saya di ITS. "ckckck... Outlieeerr!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..

jagoBlog.com