Kamis, Juli 26, 2012

Diantara Hati dan Syahid, berhenti...

Sejak awal Ramadhan, tak ubahnya masjid-masjid di kampung saya dulu, masjid Al Muhajirin di perumahan saya tinggal kini, juga menyediakan makan sahur. Saya memang berniat untuk menunaikan sahur saya di masjid, sekalian bisa ibadah yang lain atau sekedar tidur. Disamping itu, sahur menjadi kendala anak kos yang gag bisa masak. Sebab, hidup di daerah minim umat Islam membuat kita harus benar-benar jaga diri dengan makanan. Lha wong nyembelih saja tanpa basmalah bisa haram??

Ini sudah memasuki puasa hari keenam. Pun sudah enam hari saya langganan sahur di masjid. Malam itu saya baru bisa benar-benar terpejam dini hari.  Pikiran saya tak setenang minggu-minggu lalu, ditambah badan yang serasa sakit semua, membuat insomnia ini lengkap. Saya tidur dengan membaca syahadat. Saya menyakinkan hati, Allah Tuhanku, Nabi Muhammad Utusan-Nya. Saya baca perlahan, hingga saya ulang hingga yakin, sebanyak tiga kali. Setelah itu, saya baca doa tidur (meski lebih sering lupa). Malam ini saya pasrahkan diri dan nyawa saya kepada-Nya.

Sekitar jam 2 dini hari, listrik padam. Saya yang waktu terlelap tidak tahu. Cuman setelah terbangun, teman saya cerita, juga ada sms menanyakan listrik padam atau tidak. Saya masih terlelap hingga jam 3, persis setelah listrik baru hidup lagi. Dafit, teman sekontrakan, bangunin saya. Seperti biasa, dia ajak saya ke masjid.

Dini hari itu amat dingin memang, nggak seperti malam-malam sebelumnya. Ditambah tubuh yang baru beberapa jam mengistirahatkan diri. Ketika kami berdua sudah masuk ke lorong arah pintu samping masjid, kami tertegun. Banyak orang yang terbangun, berdiri di samping pintu masjid. Kami masih belum tau, apalagi saya yang masih setengah sadar dari tidur. Saya hanya heran, kenapa ada pot yang seperti dihantamkan pada tembok samping masjid. Hancur, tanah dan akar-akarnya terurai.

Jam menunjukkan pukul 3, namun masih sepi. Aneh, karena biasanya jam segini semua sudah makan sahur. Saya hanya terduduk, melihat semakin banyak orang yang berdatangan ke masjid. Namun saya tahu, mereka tidak datang untuk makan, tapi untuk berdiskusi sesuatu. Entah apa itu saya masih belum paham. Hingga saya dan dua teman diminta untuk mengambil lauk sahur oleh bapak-bapak bertubuh besar dengan rambut cepak.

Sepanjang jalan, bapak ini mulai bercerita. Beberapa jam yang lalu, ada sekitar delapan orang yang mabuk menyerang masjid. Tidak tahu motifnya menyerang masjid, juga beliau katakan tidak tahu dari kelompok apa mereka. Beliau katakan, diantara mereka yang menyerang masjid, beberapa membawa senjata tajam. Beliau sebutkan diantaranya, pedang, samurai, panah dan lainnya membawa pisau. Mereka tidak sempat masuk ke masjid, hanya mengacak-acak sekitar depan masjid, melempar pot ke arah pintu samping masjid. Terkadang, teriak-teriak nggak karuan, mengganggu dan membuat keributan di depan rumah penduduk di sekitar masjid. “Sudah sering terjadi seperti ini, apalagi kalau bulan puasa,” tuturnya. Sembari menghela nafas, beliau melanjutkan pembicaraan, “Tahun lalu juga seperti ini, hampir merusak masjid,”. Deg, seumur-umur saya baru menyaksikan di dekat kita konflik semacam ini. Hati ini berdesir, ternyata Ramadhan kali ini memberi warna berbeda.

Sampai di masjid, saya santap sahur dengan perlahan. Membalas satu sms sahur yang masuk. Sembari mengetik sms di hape, teman saya memberi informasi, “Tadi diamankan dua orang brimob, tiga orang polisi,” tuturnya diikuti anggukan kepala saya.

Bapak yang tadi mengajak saya mengambil sahur, berjalan menuju tempat cuci piring, dekat dengan tempat saya duduk. Ketika berpapasan, dia terhenti. 

“Hati-hati, apalagi kita muslim dan puasa seperti ini,” pesannya. Hati saya berdesir, teringat syahadat yang saya ucapkan berkali-kali semalam. Saya menimpali pesan bapak tadi dalam hati, “Saya siap syahid, bapak,”. Saya diam, menghela nafas. Tak sadar, berkaca-kaca mata saya, lantas tersenyum. Begitu indah perjuangan pendidikan disini, hingga kamipun siap syahid, Allah…

Tubuh ini milik-Mu
Jiwa ini pun milik-Mu
Jika Kau ingin mengambilnya, ijinkan aku kembali dalam khusnul khotimah…
Meski nurani ini sadar, tubuh dan jiwa ini telah banyak debu…
Ah, saya sungkan..

2 komentar:

  1. cemunguadh ton,, warna ramadhan yang berbeda di negeri orang..
    Well, Allah with you always..
    Saya suka lima baris terakhir

    BalasHapus
  2. @rani
    negeri orang? Itu masih negeri kita meeenn :)

    @ton
    wah, jadi inget salah satu cerpen di Buku "Ketika Mas Gagah Pergi" Mbak Helvy. Di situ diceritakan ttg pembantaian umat Muslin di Bosnia yang (na'udzubillah) sangat keji.
    Warna lain dari dunia yang serba warna-warni :)

    BalasHapus

Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..

jagoBlog.com