Minggu, Maret 04, 2012

Nyalakan Lilin sebelum Mengutuk Kegelapan

Anak-anak adalah aset bangsa. Istilahnya kalau lagi mikirin akuntansi, anak-anak adalah aktiva negara ini. Maka, mereka berhak mendapatkan prioritas pendidikan, apapun itu bentuknya dan bagaimanapun caranya. 

Selama saya disini, saya mengamati pola tingkah laku anak-anak, terutama saat mereka bermain. Sebagian dari mereka lucu, namun tidak terarah. Sebagian besar orang tuanya tidak terlalu peduli dengan pola bermain anak-anak. "Yah, namanya juga anak kecil," ujung-ujungnya itu yang mereka ucapkan.

Pernah, saya berbincang-bincang dengan istri Pak Yahya, Bu Yahya namanya (hehe :D gag tau nama aslinya). Dalam obrolan singkat itu, saya sempat menanyakan kondisi pendidikan dan minat anak-anak belajar. Beliau berujar, anak-anak disini sedikit sekali yang memang berniat sekolah dengan serius.

"Banyak cara mendapatkan nilai bagus mas disini, terutama kalau sudah punya doi (uang)," ungkapnya prihatin. Itu berlaku untuk setingkat perguruan tinggi, sekolah menengah bahkan sekolah dasar pun juga ada praktik lobi nilai dengan uang seperti itu. Tenaga pengajar pun kurang memiliki rasa dedikasi mencerdaskan murid-muridnya. Etos kerja dinilai kurang, meskipun tidak bisa dipukul rata semua demikian. 

"Oh...." saya manggut-manggut, terenyuh, prihatin. Setengah menghela nafas panjang, saya bersyukur bisa lahir di Jawa, dengan kondisi kompetisi positif dalam berprestasi memang kental terasa. Sesaat, saya ingin menularkan semangat ke adik-adik kecil di lingkungan perumahan. Seperti Mas Huda dan kawan-kawan lain yang mencurahkan tenaga, pikiran serta materinya untuk adik-adik binaan di Taman Baca Kawan Kami di kompleks lokalisasi Dolly.

Mas Huda dan Dolly

Bisa dibilang, dia hafal seluk beluk lokalisasi Dolly. Ditanya tarif, bisa dia jelaskan. Saat teman-teman lain tersesat di daerah sana, dia bisa jadi petunjuk jalan. 

Dia juga bisa bicara dengan gamblang segala bentuk profesi di lokalisasi yang bertempat di daerah Putat Jaya Surabaya ini. Tapi dia bukan pelanggan, bukan "pekerja", rumahnya juga bukan di daerah "kotor" itu. Nur Huda, begitu nama lengkapnya, adalah aktivis sosial yang membina moral dan spiritual serta membimbing belajar anak-anak tak berdosa, yang terpaksa tumbuh di daerah lokalisasi. Daerah yang seharusnya tidak dijamahnya.  

Mas Huda, begitu saya menyapanya, dengan teman-teman lain Taman Baca Kawan Kami tiap hari Minggu mengunjungi adik-adik itu. Kisahnya di Taman Baca ini juga sudah dibukukan dan bukunya bisa didapat di Toko Buku Gramedia dengan judul "Permata dalam Lumpur" terbitan Quanta publishing.


Mas Huda juga redaktur saya di ITS Online. Kami cukup akrab, beberapa kali makan bareng, jalan berdua, menyusuri indahnya jalanan kota Surabaya. Nah loh? Untungnya, kami normal. Kalian tenang saja. Kita selalu menutup aurat dan menjaga pandangan kalau bertemu. (sayangnya, kita sama-sama dipanggil orang "mas". jadi gag bakal ada kejadian yang tidak "diinginkan, hehe)

Mas Huda dkk sudah merintis Taman Baca itu 3 tahun lebih. Alhamdulillah, saya diberi kesempatan untuk bergabung mengajar di Taman Baca (biasa kami sebut Kampus D :) ). Meski saya disana hanya kurang dari dua bulan, karena saya harus pindah domisili sementara dari Surabaya.

Pengalaman saya di Taman Baca Kawan Kami ini, membuahkan banyak kesan yang saya bisa petik.  Salah satunya, rasa syukur saya atas nikmat yang selama ini tidak saya sadari. 

Adik-adik di Dolly, sejak kecil sudah akrab dengan pekerja tuna susila, main dengan botol-botol bekas minuman keras, hidup di lingkungan penuh lelaki hidung belang menumpahkan cairan maninya. Meski ada yang memiliki orang tua yang seperti pada umumnya, namun banyak diantaranya hidup dengan orang tua sebagai pekerja tuna susila juga, pemabuk, mucikari, bahkan diantaranya punya ibu, tapi entah siapa ayahnya, 

Mereka sama dengan anak-anak daerah lain. Bersih, suci dan tidak tahu kondisi seperti apa di sekitar mereka. Mereka terpaksa tumbuh berkembang dekat sekali dengan prostitusi. 

Adik-adik itu sama dengan kita. Sama dengan saya, yang pernah kecil seperti mereka.
Kita (harusnya) punya hak yang sama... Tapi kenapa tidak?


Akhirnya....
Setelah lama di ujung utara pulau berbentuk huruf K ini, akhirnya pintu mimpi saya mulai terbuka. Kembali mengajar [lagi] setelah lama saya tinggalkan Probolinggo, kota kelahiran dan Surabaya, khususnya Kampus D[olly] di Taman Baca. Saya bersama kawan-kawan saya berkesempatan ngajar anak-anak seumur 3-12 tahun di Taman Belajar di Masjid perumahan tempat saya tinggal saat ini. 

Sebenarnya, Taman Belajar ini sudah ada sebelum saya menginjakkan kaki di kota ini. Namanya Tazkir Anak-anak. Kegiatan ini dulu dibuat atas dasar banyaknya anak-anak muslim yang ikut ke dalam sekolah minggu besutan kaum Nasrani. Untuk menyelamatkan aqidah anak-anak muslim, maka dibentuklah badan tazkir anak-anak dibawah asuhan seorang ustadzah *aduh maaf lupa namanya hehe... Kegiatannya mempelajari agama dari dini, thaharah, nyanyian Islami, tilawah Qur'an beserta terjemahnya, serta cerita-cerita Islami pembangkit keceriaan yang dibawakan pengasuh. Namun, kesibukan sang ustadzah di luar membuat agenda kegiatan ini berkurang, meski demikian anak-anak pun semangat datang tiap minggu pagi di Masjid.

Alhamdulillah, gayung bersambut ketika program kerja BEM STAN  2011-2012 terbentuk, saya diajak beberapa pengurus bidang Pengabdian Masyarakat untuk mengisi materi. "Mantap," ujar saya dalam hati. Saya yang saat itu sedang kerja bakti di masjid, diminta untuk segera membersihkan diri dan mengikuti agenda tazkir. 

Pertemuan pertama, tidak banyak yang kami lakukan. Kami? Ya saat itu kami datang bertiga, bersama Alex (kordiv pengmas) dan Hamid (Kadept Humas). Kami dan adik-adik berjilbab dan berpeci ini berkenalan dengan cara unik dan mengejutkan. Bernyanyi, bertepuk tangan, menggeleng kepala, lalu sebut nama satu persatu. 

Ah, biar aja... kita kan harus tahu anak-anak itu bagaimana, baru kita bisa dengan nyaman bisa mengajar. Bagian dari proses, hiburku.

Sampai pada inti acara, kami diminta ustadzah untuk bercerita. Jleb! Alex dan Hamid langsung memandang tajam ke arahku. Uh, gag papa sih aku yang cerita, tapi mau cerita apa? Bagi saya, agenda ini ndadak, eh malah disuruh cerita. Waktu itu, yang terpikir masak di depan adik-adik kita menolak dan bilang "Gag bisa, ustadzah".  Bukan malu, tapi bahaya juga jika budaya "ndak bisa, ndak mau" ditirukan adik-adik. Saya akhirnya mengangguk mantap, mengiyakan.

Cerita dari saya, mengenai cita-cita. Saya tidak mau ambil pusing mau ngarang cerita seperti apa. Ambil saja inspirasi cerita dari adik-adik. Kutanya,"Cita-cita kalian apa?". "Dokter kak," ujar Yoyok yang duduk di sebelah kananku. "Oke, Ada lagi?,". "Dokter kak," ungkap Nanda yang saat itu berkerudung biru. Setelah itu, bersahut-sahutan ingin jadi dokter. Yak, saudara-saudara. berarti saya bercerita tentang kedokteran dikaitkan Islam. Alhasil, kemudahan didapat. Saya  menerangkan fungsi air wudhu dari segi medis. Mereka tampak larut cerita saya. Bahkan usai cerita, Salah seorang adik di baris perempuan berkata "Kalau gitu, saya gag boleh lupa shalat biar sehat," ujarnya polos. Alhamdulillah..

besok, saya mau cerita apa lagi?




yuk mari kawan, selagi ada kesempatan yuk mengajar...


*ditulis sembari muhasabbah 
maaf karena sudah lama gag nulis, jadi kaku nulis... 

3 komentar:

  1. Semangat ya ...
    Nice ...
    Followback yah ..
    http://chotcintachit.blogspot.com/

    Trims ... :)

    BalasHapus
  2. hei cint, nama gue dicatut tanpa izin ya? Bayar jeh! Hahaha...

    salute, tribute for all of u guys :)

    Berprestasi itu penting, sukses itu juga sangat penting tapi bermanfaat untuk orang lain adalah terpenting dari semua dari sisa umur kita di dunia...

    BalasHapus

Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..

jagoBlog.com