BARACK HUSSEIN OBAMA,
“FROM ZERO TO HERO”
Hari ini seharusnya kami masuk ke sekolah. Tapi, masyarakat Probolinggo sedang melaksanakan pesta demokrasinya dalam Pilwali Kota Probolinggo 2008, sehingga otak dan pikiran seluruh warga Probolinggo “diistirahatkan” demi suksesnya pemilu.
Tak ayal, kebahagian juga menghampiri anak-anak seperti kita, sebagai anak sekolahan. Namun, senyum tak lama bertahan di bibir kami, ketika aku berkata “Besok aja ya!”. Aku berinisiatif mengirim snaskah majalah Lentera yang sempat tertunda beberapa hari itu di esok hari, saat coblosan berlangsung. Toh, cuman daerah Probolinggo saja yang libur, UN (Universitas Negeri) Malang Press
+++++ +++++ +++++
“Kriiinnnggg…. “
Teleponku berdering. Aku terbangung. Ku lirik jam di handponeku. Hah! Setengah delapan pagi. Aku sudah terlelap hampir dua jam setengah sehabis shalat Shubuh tadi. Padahal aku sudah bikin janji bakal datang jam delapan di rumah Yudhis, karena ada beberapa artikel yang musti dibenahi.
Dengan malas aku beranjak dari kasur mimpiku, tiba-tiba “Ton, Yudhis telpon!” terdengar keras suara ayahku memanggil anak keduanya. Tersadar dan setengah kaget, kusibakkan selimut merah berbulu halus itu. Ku angkat gagang telpon dan singkat ku katakan, “Yo, marine..” (ya, sebentar lagi-red).
Sekejap ku melesat mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi, bak anggota dewan dengan jam terbang tinggi, telat ngantor, langsung lari menuju rumahnya, Gedung DPR. Bedanya, aku mau mandi, mereka malah berdebat ngalor-ngidul, bahkan melanjutkan tidurnya.
Byuuurrr…
Guyuran air yang dingin, menyadarkan aku bahwa aku harus cepat sampai disana. Langsung saja kupercepat mandi, namun tetap tak lupa gosok gigi. Selesai, aku keringkan badanku, berlari begitu saja menuju almari pakaianku. Ku temukan hem lengan panjang favoritku plus celana hitam. Tampak serasi dengan tubuh “langsing” ku. Hehe…
Ketika aku membuka pintu ….
“Nang endi ae kowe, suwe eram!” (kemana saja kamu, lama sekali-red) gertak Yudhis yang penuh geram menungguiku. Aku masih kaget, tak percaya. Ia membuka mulutnya lagi, “ Iku (itu-red), kerjakan tugasmu!”
Oh.. aku terbius waktu hingga tak sadar aku telah tiba di rumah Yudhis. Segera aku masuk dan langsung saja duduk di depan komputer yang menyala. Ku lihat sejenak, ada beberapa file yang terbuka dalam posisi minimize. Tanganku mulai bergerak, menyentuh mouse dan menggenggam erat permukaan halus benda mungil itu. Dengan tatapan tajam mata tertuju pada monitor, ku putar-putar telunjukku di bola kecil yang biasa disebut scroll, sambil tetap memainkan ibu jari ke permukaan halus mouse ini. Setelah ku temukan, beberapa kata yang hilang, tangan kananku mulai beralih ke tuts-tuts mungil keyboard. Beberapa kali ku tekan, bergeser ke mouse, ke tuts keyboard lagi, ke mouse lagi dan begitu seterusnya. Aku tak bisa menghitungnya.
Semua beres!. Lega rasanya. Namun kelegaan ini hanya awal. Ku lirik Eka memencet angka-angka di handponenya. Tak lama kemudian dia berkata pada benda kecil dalam genggaman tangan itu “Kami siap Pak, berangkat… ya, baik Pak!”. Sembari merapikan kerudung putih yang dikenakan, ia menoleh ke arahku dan Yudhis dan berisyarat agar segera berangkat. Oh, telepon dari Pak Syaiful, pikirku.
“ Pak, kita sudah sampai di terminal… oh, baik Pak… kami akan masuk!”, kata-kata Eka terdengar sayup ketika aku sibuk membayar ongkos Angkota. Dia mengajak aku dan Yudhis masuk peron. Di sana telah menunggu Pak Syaiful. Sembari menunggu bis Patas jurusan Malang datang, kami larut dalam obrolan.
Hampir setengah jam, tapi bis tak juga kunjung datang. Aku pamit sebentar ke Pak Syaiful untuk membeli minuman. Anggukan beliau penanda ku mulai beranjak menuju kios di sudut terminal itu. Setelah membayar. Aku kembali duduk dan menawarkan minuman ke temanku. Mereka hanya menggeleng. Aku masukkan minuman di satu-satunya tas yang biasa kupakai ke sekolah.
Tak lama kemudian, datang juga bis yang kami harapkan. Kami naik. Eka memilih duduk dengan Yudhis, alasannya biar enak ngobrol. Aku sendiri, dengan penuh kepercayaan diri duduk dengan Pak Syaiful, yang telah menempuh studi hingga tingkat magister. Bangga rasanya. Kapan lagi bisa duduk dan ngobrol dengan orang semacam beliau.
Sempurna, obrolan aku dengan Pak Syaiful nampaknya begitu menyatu. Apalagi ketika berbicara masalah lika-liku politik Indonesia hingga bersinggungan dengan pembelajaran di SMASA. Ku lirik Eka dan Yudhis, mereka nampak heboh.
Nah, ketika penjual koran masuk, aku merogoh ribuan di sakuku. Sialnya, sulit kudapat. Pak Syaiful nampaknya mengerti kesulitanku dan menyodorkan uang seribu kepadaku. “Terima kasih”, ucapku tulus.
“SURYA”
Ah… koran ini. Ku buka halaman opini. Kolom warteg hari itu tidak terisi. Aku memang suka menulis dan mengisi kolom ini. Beberapa kali termuat, meski tanpa fee. Tapi mungkin karena berkurangnya minat tulis masyarakat Indonesia, kolom-kolom seperti ini jarang lagi dipenuhi opini publik yang menarik dan kadang kali menggelitik.
+++ ++++ +++
Aku terbangun. Kondektur memecah tidurku dan mengatakan bahwa kami sudah tiba di Terminal Arjosari, Malang. Kami turun dan segera mencari warung. Maklum, dua jarum jam di pergelangan tanganku telah menunjukkan angka 12.15.
Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan menuju UN Malang dengan flashdisk kumpulan artikel di tangan. Tersenyum manis menelusuri kota Malang.
Kami bertiga disambut oleh Mas Yusuf, layouter di percetakan tersebut. Dan langsung saja kami bertiga dibawa ke ruang kerjanya. Sedangkan Pak Syaiful asyik ngobrol dengan salah satu karyawan disana.
Diantara kami bertiga, aku adalah yang paling paham tentang seluk beluk artikel dan tata letak yang pas. Sehingga aku yang kebagian menjelaskan satu-persatu mengenai isi majalah kita kepada mas Yusuf. Setelah panjang lebar, kami pamit pulang karena jam dekstop komputer disana sudah menunjukkan angka 15.48.
Kami bertiga tidak begitu saja melewatkan momen berharga di percetakan. Setelah melakukan shalat Jama’ Dhuhur dan Ashr, kami berkeliling di ruang cetak. Di sana juga terdapat kalender, majalah-majalah bahkan buku-buku. Tak lupa, Yudhis kebagian dokumentasi. Hehe…
Lelah… kami pulang…
Eits, namun ekpedisi Lentera tak berhenti sampai disana. Aku dan Yudhis harus kembali ke percetakan untuk tahapan finishing. Setelah menerima hasil layout dari UN Press, kami masih harus membenahi tampilan-tampilan yang dirasa kurang. Pembetulan kami kirim via email. Butuh waktu satu bulan dari meja redaksi hingga ke siap cetak. Jadi, Sobat Tera sabar ya… Butuh waktu, tenaga dan pikiran yang kami curahkan kepada Majalah Lentera, untuk pembaca setia, Sobat Tera. (0609) So, send us your masterpiece at redaksi.lentera@gmail.com
www.worldandlive.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..