MENYONTEK, LANGKAH PRAKTIS MERAIH SUKSES
DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Pada era global saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju. Hal ini menyebabkan permintaan sumber daya manusia yang berkualitas juga semakin tinggi.
Kurikulum yang berganti berkali-kali menjadi bukti adanya usaha peningkatan mutu pendidikan. Dari kurikulum 1994 sampai KTSP yang dipakai saat ini, dimana siswa harus benar-benar belajar, semenetara guru hanya sebagai fasilitator. Ditambah lagi, nilai standar kelulusan yang makin melambung, membuat pelajar harus berpikir dua kali untuk dapat lulus dengan nilai gemilang saat siswa tidak siap. Akhirnya mereka meminta jawaban pada anak yang lebih pandai. Akibatnya nilai yang mereka dapatkan bukanlah hasil belajar keras.
Demi sebuah nilai baik, ditambah ancaman ini-itu membuat pelajar nekat untuk mencontek. Alasannya ironis, membahagiakan orang tua dengan nilai tersenyum. Lantas, benarkah menyontek merupakan langkah praktis di dalam dunia pendidikan di
Banyak faktor yang menyebabkan siswa terpancing utnuk menyontek. Diantaranya adalah pergantian sistem pendidikan yang dipakai membuat pelajar bingung.
Pada kurikulum 1994, guru menjelaskan mengenai apa yang dibahas, sehingga dapat dikatakan gurulah yang aktif, bukan pelajar. Bandingkan dengan kurikulum yang berlaku saat ini, KTSP yang mengajarkan pada pelajar untuk aktif dan guru hanya sebagai fasilitator. Siswa yang sebelumnya hanya sebagai konsumen ilmu pengetahuan, sekarang juga sebagai produsen ilmu pengetahuan bagi dirinya sendiri.
Memang, apabila kita lihat sekilas perubahan ini dapat dikatakan sebagai perubahan untuk kemajuan. Tetapi, apabila kita kuak lebih lanjut, dibalik perubahan positif ini, juga terdapat sisi negatifnya.
Akibat yang ditimbulkan dari menyontek berbagai macam. Bagi diri sendiri, menyontek menyebabkan ‘ketergantungan’ pada teman pandai sehingga mendidik pelajar menjadi tidak mandiri, mendidik anak menjadi kasar, karena apabila tidak mau memberi contekan maka anak tersebut akan mengancam. Menyontek juga menyebabkan rasa takut, karena telah melakukan perbuatan tidak terpuji dan menghadirkan perasaan was-was takut perbuatannya diketahui gurunya. Selain itu, yang perlu diketahui bahwa menyontek juga melatih pelajar untuk berbuat tidak jujur, sehingga apabila kelak menjadi pejabat, ia akan melakukan korupsi sebagai terapan ketidakjujuran itu.
Sedangkan bagi orang lain, menyontek akan membuat rasa bersalah karena ikut ‘membodohkan’ teman dengan bantuan ketika ulangan. Bagi siswa yang pandai, dirinya merasa terancam jika tidak memberikan contekan. Entah dipukul atau peras uangnya.
Bagi guru, menyontek sama dengan pengkhianatan. Guru yang penuh sadar mendidik dengan harapan siswanya memahami, menemukan sebuah kenyataan bahwa siswanya lebih memilih untuk menyontek. Ironis memang.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak benar bahwa menyontek merupaan langkah prakis menuju sukses di masa depan. Kurikulum yang baru menuntut pelajar untuk cepat beradaptasi. Jika tidak, ia akan kesulitan dalam pengerjaan soal-soal ujian. Tidak banyak, pelajar bingung dan menyontek. Hal itu merugikan diri sendiri dan orang lain.
Oleh karena itu, perlu adanya penanaman nilai-nilai yang mulia oleh instansi pendidikan kepada pelajar,. Sehingga tidaklah hanya tampak upaya tersebut dengan penjagaan yang ketat, namun penanaman moral juga harus diutamakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..