Kasih sayangnya kan terus terurai... Perhatiannya kepada kita menjadi segalanya... Luka kita kan menjadi resahnya... Meski kita jarang memberi tulus kasih sayang, perhatian kepadanya... Kepada makhluk paling mulia sepanjang hayat, Ibu... Kubuka album biru Penuh debu dan usang Kupandangi seragam berdiri Kecil bersih belum ternoda Pikirku pun melayang Dahulu penuh kasih Teringat semua cerita orang Tentang riwayatku Kata mereka diriku s’lalu dimanja Kata mereka diriku s’lalu ditimang Selamat pagi Ibu. Harusnya pagi ini aku bisa melihat wajahmu. Seperti dahulu, saat aku susah bangun pagi, engkau yang setia keluar masuk kamarku yang berantakan itu, semua engkau lakukan agar anakmu ini tidak lalai menunaikan shalat. Tapi sungguh aku yang tak mengerti engkau, seringkali aku bersembunyi di balik hangatnya selimutku, menutup telinga dari suara surga darimu. Ibu, seharusnya hari ini aku mencium tanganmu, tangan suci dengan jemari halus yang membelaiku mulai dalam kandungan hingga kini saat keberangkatanku ke kota besar ini. Aku ingat, kau tak pernah peduli jemarimu berkali-kali teriris tajamnya pisau, hanya untuk membuat sarapan untukku. Harusnya, hari ini aku bisa tersenyum manis untukmu... Ibu, kini aku tak lagi selalu bisa melihat bias surga wajahmu, tak bisa lagi mendengar nasihatmu, dan senyuman manismu. Melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri sesuai anganmu, membuat aku dan engkau Bu, terpisah. Apalagi di kampus perjuangan ITS, sedikit sekali kesempatan untuk menjumpaimu di kampung halaman. Tapi, hikmahnya aku makin merasakan hadirmu kini amat berarti. Ah, kesendirian di kamar kos ini, membuka ingatan-ingatanku tentang istimewanya aku di hadapanmu. **** Nada-nada yang indah Selalu terurai darimu Tangisan nakal bibirku Tak ‘kan jadi deritamu Empat belas tahun lalu, sehari sebelum pertama aku masuk taman kanak-kanak, atau TK. Hemmm.. betapa bahagia membayangkan bangku-bangku sekolah esok hari, memakai baju seragam, bersepatu, menenteng tas kecil penuh warna. Begitu bangganya aku memamerkannya pada teman-teman sepermainan. Ibuku tersenyum melihatku senang, meski aku melihat ibu kelelahan. Sejak pagi, beliau sibuk dengan urusannya. Aku tak tahu. Yang kutahu, di tempat tidurku yang mungil, tertata rapi satu stel seragam dan rompi TK, sepatu, tas dan buku gambar kecil. Semuanya masih baru. Aku tetap tidak tahu semua itu asalnya darimana. Ibu hanya berujar "Kamu cepat tidur, besok sekolah harus bangun pagi,". Senyumnya mengembang, mencium keningku. Sejak pagi itu, ibu selalu bangun lebih pagi. Sejak hari itu, kesibukan ibu bertambah. Penatnya mengajar di sebuah sekolah dasar, tak pernah menampik saat aku ingin bercerita tentang sekolah, tentang dijahili teman-teman atau dengan raga yang lelah, ibu selalu memenuhi kebutuhan sekolah yang aku minta. Ya, sejak pagi itu, bahkan hingga aku tamatkan sekolahku di SMA. Ibu selalu ada untukku, tapi aku tak pernah ada untuk dirinya. Saat engkau butuh sesuatu, kadang aku mendewakan televisi atau mainanku. Saat engkau terbaring sakit, aku tak memperhatikanmu, alasannya sibuk sekolah. Sungguh, tak sedikitpun rasa sayangmu berkurang pada diriku. Cuma aku selalu mengurangi rasa sayangku saat engkau tak kabulkan permintaanku. Ah, teganya. **** Tangan halus dan suci Telah menangkap tubuh ini Jiwa raga dan seluruh hidup Rela dia berikan Kini, kuliah adalah sebuah tantangan kemandirian mengatasi problematik, tak hanya diri sendiri, juga yang menimpa bangsa negara. Ibuku kini bukan lagi sebagai penyedia kebutuhan anaknya yang telah menjadi mahasiswa. Ibu, bagi seorang mahasiswa sepertiku adalah penyemangat jiwa saat tugas kuliah makin menumpuk, penyejuk hati jika banyak masalah yang menghampiri serta sebagai jalan menuju surga Tuhan, yang selalu diucap namanya saat kita memanjatkan doa. Jarak ibu dan aku kini yang jauh, makin mempertebal rasa sayang dan rinduku, yang belum pernah kurasakan. Sungguh, sebenarnya Tuhan telah menitipkan surga-Nya kepada engkau, ibu... Semoga hari esok, sisa nyawaku bisa menemuimu Bu, mencium tanganmu... Mengucap tak pernah kuucap sebelumnya di hari istimewa ini, Selamat harimu, ibu... Aku amat mencintaimu. Seandainya diri ini bisa mencintai lebih dari cintamu kepadaku, aku ingin. Tapi aku tak pernah sanggup. Untuk ibuku dan ibu-ibu yang lain, yang kubanggakan. Selamat hari Ibu. Hanya sepucuk surat ini yang dapat kuberi, semoga dapat membuatmu tersenyum. tulisan serupa bisa dijumpai di website kampus saya, http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=7829 |
Kamis, Desember 23, 2010
Surat Untuk Ibu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan sempatkan untuk memberi komentar..