Ibuku seorang guru,
namun bukan seorang Guru Besar layaknya di perguruan tinggi. Ibuku seorang guru
sekolah dasar. Sekolah dasar tempat beliau bertugas, bukan sekolah elit di
tengah kota, juga bukan berstandar nasional maupun internasional. Beliau mengajar
di sekolah biasa, tidak lebih diisi dengan anak spesial, harapan bangsa,
putra-putri petani, nelayan dan pedagang. Istilah elite yang sering terdengar,
rakyat kecil, rakyat biasa.
Beliau ada pendidik
akidah dan akhlaqul Islam, sebagai Guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Hemat
saya, beliau yang bertanggung jawab, setelah orang tua siswa, atas
bagaimana karakter Islam yang terbentuk kelak. Beliau menjadi guru, karena
waktu sekolah dulu, Ibu milih sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama), yang kala
itu punya ikatan dinas dengan Kementerian Agama RI.
Sebagai guru agama, menurut saya tanggung jawab yang dipikul
beliau lebih besar dibandingkan dengan guru biasanya. Selain tugas guru untuk
mendidik dan mengenalkan ilmu kepada siswa, beliau dan rekan guru agama yang
lain juga bertugas menanamkan agama ke siswa didik, yang akan digunakan kekal
hingga dewasa dan kelak di akhirat.
Kalau dipikir-pikir, Ibuku memang tidak ada duanya. Tidak
hanya kepada murid, beliau juga telaten mendidik tiga anak laki-lakinya,
termasuk penulis ini. J
Ditambah, tugas mulia beliau untuk keluarga.
Kembali lagi ke topik awal, antara beliau dan kiprahnya mendidik. Soal gaji, saya tidak pernah mendengar beliau risau soal itu. Seakan percaya, rejeki selalu datang di saat yang pas. Tapi Alhamdulillah, beliau lulus tunjangan profesi / sertifikasi, sehingga menikmati tunjangan kinerja beliau. Meski mendapat gaji lebih, beliau makin semangat bekerja, tidak mau mendapat tunjangan namun kerja hanya seadanya saja. Kini, kesibukannya bertambah sebagai koordinator administrasi sekolah, ditambah juga sebagai bendahara Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kini, umurnya mendekati masa pensiun, beberapa tahun lagi.
Namun kinerjanya tidak malah menurun dan padam, justru makin berpijar. Melihat
anak-anaknya bersekolah dan kuliah, makin semangat beliau menjalani hidup.
Ibuku, tidak perlu kau rengkuh gelar professor untuk menjadi orang berguna bagi sesama. Bagi kami, sosok guru seperti ibu adalah sosok terbaik untuk jadi Guru Besar di hati kami.
“…Ibu Guru kami..pandai bernyanyi…
pandai bercerita..asyik sekali…
kami dibimbingnya… dengan sepenuh hati…
Jadi orang berguna… di kemudian hari…”
-cipt. Mochtar E.-
sudah saya baca mas,matornuwon :D
BalasHapus