Coba cari gambar di Google, ketik kata kunci Manado. Anda mungkin mendapatkan beberapa spot-spot pantai dan perkotaan. Gambar-gambar mbah Google itu juga yang menjadi gambaran saya waktu masih di Probolinggo. Indah. Itu juga yang muncul di benak saya ketika berada di bandara Juanda Surabaya. Tiket maskapai pesawat Lion Air dengan rute Surabaya - Manado di tangan pun turut mengantar imaji saya terhadap eksotisme Manado.
Serba pertama kali : Sesaat setelah menginjakkan kaki di luar Jawa
Saya kini berada di Manado, ibukota Sulawesi Utara, untuk menempuh pendidikan satu tahun di Balai Diklat Keuangan (BDK) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Saya datang tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado sekitar pukul 12 siang WITA bersama tujuh kawan bernasib sama dari Jawa.
Usai landing, kami mencarter mobil lux - menurut saya - Avanza. Warnanya merah metalik. Sopirnya orang Manado asli, sekaligus orang yang pertama kali saya jumpai, berbicara dengan logat Manado. Meninggi di tiap akhir kalimat. Kadang disertai ekspresi berlebih (baca selengkapnya edisi bahasa). Untuk mencapai BDK -kampus STAN- sebenarnya tidak lama, dan relatif dekat. Tetapi harus membayar 80 ribu satu mobil (penyesalan mahasiswa rantau). Sembari menuju BDK, kami juga sempatkan ngobrol dengan pak Sopir (lupa tanya namanya) ini, tentang Manado, daerah kota dimana, Bunaken jauh kagak, sampai ngobrol anak-istrinya. Renyah, percakapan kami, meskipun saya dengan medok Njowo pol-polan, si bapak ini ngomong ngalor ngidul kadang saya gag paham. Pokok kami bisa ketawa, meski lebih banyak meringis gag paham.
BDK STAN Manado letaknya di Jalan Raya Mapanget KM 0,5 Paniki Dua Manado. Selintas, tidak ada yang salah memang dengan penamaan jalan itu. Prediksinya itu jalan yang besar, minimal ada empat jalur dua arah. Keyakinan bertambah dengan penomoran jalan yang memakai "Kilometer atau KM". Namun ternyata, yang dimaksud 'Raya' disini, tak lain adalah jalan dua arah dengan lebar sebadan truk besar itu, kalau ada dua mobil papasan, yang satu harus rela 'mengalah', minggir ke pinggir kebon. Tampaknya, ini seperti jalan mau ke gunung. Kiri-kanan jalan, kebun pisang, juga kelapa. Nah, kolak pisang nih, pikirku. Haha :D
Jelas shock! Imaji saya mendadak luntur. Kawan-kawan saya rata-rata tanggapannya sama, melongo pasrah. :D . Ada Doni, bocah Blitar yang akhirnya jadi teman sekamar saya ini melihat dengan jelas di mbah Google, jalan Mapanget itu besar, bahkan jalan utama ke Bitung. Protes Doni tentang Jalan Mapanget ini konyolnya disampaikan ke pemeriksa berkas saat daftar ulang. Ketika bapak pemeriksa tanya, "Kesulitan apa saat pertama kali datang di Manado ini,". Dengan enteng dan polos si Doni jawab," Eemm.. nga.. ngaanuu Pak, saya lihat di Google jalan Mapanget itu besar, tapi ternyata kok kecil ya,". Sontak, seisi ruangan tertawa mendengar "kesusahan" Doni ini. Entah, apa dia yang susah melihat kenyataan di Google Maps, atau susah menerima kenyataan kalau jalan Raya Mapanget itu nyatanya, kecil.
Kalau saya, memang jalan ini cukup ramai juga dilalui kendaraan. Tetapi bagi saya pribadi ini bukan seperti jalan utama menuju Bitung, tapi lebih pantas disebut jalan alternatif (kalau di Jawa), biasanya untuk menghindari macet atau banjir hehe..
Pernah suatu ketika, kami berdelapan pulang kemalaman usai daftar ulang. Keadaan mencekam, meski itu lekas saja memasuki waktu maghrib. Sejauh BDK hingga pertigaan perumnas tempat kontrakan saya, gelap. Tentu saja, kiri-kanan kebon pisang dan kelapa, dengan alang-alang tinggi dan rimbun. Seakan-akan kampus itu di tengah perkebunan sawit (emang bener sih, hehe).
Kami mengontrak sebuah rumah yang cukup besar di Jalan Anggur, sekitar 200 meter dari kampus. Di dalamnya terdapat empat kamar. Satu kamar bisa ditempati dua orang. Dua kamar mandi. Dua ruangan besar, satu biasa kami gunakan untuk shalat berjamaah dan makan bersama, satu lagi ruang tengah tempat bersantai. Kondisi kamar kami berbeda-beda, ada besar-kecil, juga kelengkapan tiap kamar. Kamar depan paling luas, bekas ruang tamu, tapi kosong tanpa isi apapun. Kamar saya di sebelahnya, gag begitu luas, plusnya ada lemari besar yang sangat cukup menampung barang-barang saya dan Doni. Di hadapan pintu kamar saya, ada dua kamar. Luas dua-duanya kira-kira sama. Namun bedanya, yang kamar timur ada kamar mandi dan almari, sedangkan kamar sebelahnya, kosong. Tapi kamar kami sama. Sama-sama nggak punya kasur dan bantal. (haha, yang akhirnya memaksa kami untuk ke kota, belanja kasur+bantal).
Kami tinggal di kompleks perumahan nasional (Perumnas). Keadaan daerah ini jauh dari kota. Sebagai contoh, kalau konversi minyak tanah ke LPG di Jawa dimulai sekitar tahun 2008-an, disini baru saja mulai. Bahkan, minyak tanah pun langka. Hari pertama di Manado, antrian minyak tanah benar-benar mengular, memenuhi badan jalan masuk perumnas yang cukup untuk satu mobil dan satu motor. Saya tahu, antrian ada mulai jam 13.00 WITA hingga kira-kira sekitar laga babak tambahan Final SEA Games Indonesia VS Malaysia dimulai, yang berarti disini sekitar jam 22.00.
Untuk gaya rumah, hampir sama dengan Jawa, cuman gag ada ciri khas Joglo. Cuman, hampir semua rumah dan gedung di Manado memakai atap (genting) yang terbuat dari seng dan dibentuk menyerupai genting tanah liat. Juga diberi warna merah, kadang hijau atau biru. Memakai atap seng punya sensasi tersendiri ketika hujan. Berasa seperti kejatuhan benda dari langit, juga bagai desing peluru menempa rumah kami. Ujar teman saya dalam logat Jawa kentalnya, Kemrocos buanterr (menderu sangat keras,haha...)
Kondisi lingkungan perumnas kata orang-orang sekitar tenang, damai dan aman. Itu kata orang sekitar, yang 'punya' daerah dan rata-rata non muslim. Kalau saya pribadi, disini mencekam. Tiap kali keluar rumah, mental saya diadu dengan taring-taring tajam dan juluran lidang panjang anjing-anjing, membuat nafas kadang kembang kempis saat melewatinya. Dimana-mana, di setiap sudut dan tiap rumah kebanyakan memelihara anjing. Ukurannya, sanggup bikin jantung hampir copot, sebesar kambing yang siap dikurbankan saat Idul Adha.
Teman-teman kompak berpesan, yang penting gag ganggu, gag mendadak lari, atau mendadak pingsan! "gag bakalan mati", begitu ujar mereka. Meski demikian, saya yakin kok kalau mereka berpapasan dengan anjing yang tidur di gang depan rumah kontrakan, pasti kompak, mereka menghentikan langkah dan nafas sejenak. Salah satu dari kami memberi komando, "Awas, barang najis!". Hahahaha, gelak tawa kami menjawab, lalu mengunci rapat mulut, berjalan menjauh dan sedikit dipercepat. Begitulah, kemana saja bakal ketemu sama 'barang najis' satu itu. Kadang saking banyaknya, kami menyapa dan melempar senyum kuuueecut. Lantas ngacir........
bersambung.....
#nb : baru dapat informasi, kesalahan penempatan BDK STAN bukan di jantung kota tidak dialami teman-teman Manado saja. Senasib, yakni BDK STAN Jogjakarta ternyata di pelosok. BDK Balikpapan juga diletakkan di tempat yang susah diakses.
Saya sebenarnya bersyukur, cuman disini jarang sinyal.
"Duh Gusti, paringono kulo sinyal modem lan sinyal hape sing lancar, Amin Ya Rabbal Alamin"
keren :)
BalasHapuskeyeen bangeettss :)
BalasHapusCoba jalan2 boi, keliling berapa kota gitu. Tp harus ngonthel, EcoCampus bro :)
mas-mas, yang keren apanya ya? :)
BalasHapuslha disini sudah terlalu ecocampus, sampe gag tau apa namanya. Lha wong kanan-kiri, depan dan belakang kampus sawah, tegalan dan kebun semua.. kayak BDK yang ketelan kebun..
iya rencana ke kota, Manado bagian 2 :)
ah masa gan
BalasHapus