Perbedaan kadangkala menyulut pertikaian, apalagi kalau sudah menyinggung unsur SARA. Namun, perbedaan kadang bisa jadi indah.
Manado memang muslimnya minoritas. Masjid juga jumlahnya sangat terbatas, jauh lebih banyak gereja. Itu juga susahnya kalau bepergian di Manado. Masjid jarang, kita shalat lima waktu. Apa shalat di gereja aja? Hehe… Pertanyaan retoris kawan saya..
Di Perumahan Paniki Dua, tempat saya tinggal, hanya ada satu masjid. Al Muhajirin, seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya. Jamaah di masjid ini sangat bermacam-macam warna. Ada yang sudah fasih Al Qur’an dan Hadist, ada yang tekun beribadah, hingga ada yang memang masih dalam taraf mualaf. Pun, Imam (perawi hadist) yang dianut juga bermacam-macam, campur jadi satu masjid.
Biasanya kalau di Jawa, yang kita bisa temui masjid hanya berjarak 1-5 km saja, bakal punya satu pakem di masjid itu. Misalkan, masjid A meyakini hadist X, masjid B yakin hadist C. Sehingga, jamaah tinggal memilih masjid mana yang sesuai dengan keyakinannya dalam beribadah. Kalau di Manado?
Ini terjadi dan bisa terbukti saat terawih kemarin. Sudah umum kalau ada umat muslim memakai 8 rakaat tarawih, ada juga yang 20 rakaat. Masjid Al Muhajirin mengambil jalan tengah untuk menampung semua jamaah, yakni memakai 20 rakaat, dengan kesepakatan yang meyakini 8 rakaat saja dipersilakan untuk menunggu shalat witir. Alhasil, saya sempat shock. Hampir sepertiga isi masjid berhamburan keluar setelah rakaat kedelapan tarawih dilakukan. Riuh, ramai. Mulai dari shaf depan sendiri, hingga belakang ada yang “undur diri” setelah rakaat delapan. Jamaah perempuan juga seperti itu.
Meski demikian, saya pikir itulah yang menyatukan kita. Tetap dengan panji-panji Islam, kita selalu merangkul perbedaan dibalut kebersamaan. Puasa Jum’at, puasa Sabtu tetap jadi satu dalam nafas Islam.
Kalau Anda puasa Minggu, jadi hutang satu. :)
Hanya saja, kadang saya tidak habis pikir. Di masjid ini, kadang shalat bisa dilewati orang. Meski berulang kali tangan saya julurkan untuk menghalau yang lewat di depan saya yang sedang shalat, tapi selalu berulang. Ada juga, di dekat mimbar khutbah, ditumpuk beberapa Al Qur’an, dan anehnya di bagian atas ada kotak tisu. Sempat ada mas Kukuh, pegawai BDK ngetweet saya, “Al Qur’an dan kotak tisu lebih berharga mana?”.
Tak jarang kita, anak-anak yang sering adzan tanpa memakai kopyah (songkok), kena marah satu orang imam yang menurut saya salah tafsir. Kata beliau, untuk adzan disini harus pakai songkok, “Begitu memang aturannya, beda daerah beda adat,” tegasnya. Ehem, maaf pak, Islam bukan adat istiadat…
Ya begitulah perbedaan… Yuk mari disikapi dewasa ^^