Berbicara mengenai mahasiswa adalah berbicara mengenai intelektualitas dan sosok agen perubahan serta pembawa angin segar untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi. Kenapa haruslah mahasiswa? Kok tidak siswa?
Sadar atau tidak, mahasiswa adalah sosok yang di-Maha-kan, sosok yang diagungkan dan sosok yang dipandang memiliki kapabilitas lebih dari seorang siswa biasa. Jika dilihat secara biologis, mahasiswa yang rata-rata berusia 18-24 tahun, telah matang secara hormonal dan secara pemikiran. Emosi lebih stabil apabila dibandingkan dengan siswa. Kemampuan analisisnya lebih tajam ditambah wawasan yang semakin luas terhadap permasalahan bangsa, daripada seorang siswa biasa.
Lalu, apa sebenarnya makna kata Maha di depan kata siswa?
Sejatinya, mahasiswa bukan siswa biasa, ada tuntutan untuk lebih peka dan bisa merasakan apa yang dirasakan bangsa ini. Bentuk kepekaannya biasa disebut di kalangan kampus dengan sebutan, aksi!
Seperti yang dikatakan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dalu Nuzlul Kirom, bahwa kita sebagai mahasiswa haruslah proaktif, kritis melihat kondisi masyarakat. Namun aksi seperti apa yang efektif saat ini?
Seperti yang dikatakan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dalu Nuzlul Kirom, bahwa kita sebagai mahasiswa haruslah proaktif, kritis melihat kondisi masyarakat. Namun aksi seperti apa yang efektif saat ini?
Ya, inilah pentingnya suatu media atau Koran, yakni sebagai wacana yang terpublikasi secara luas kepada khalayak umum. Jika mahasiswa memahami bahwa menulis opini di media massa seperti Koran, maka menulis adalah salah satu bentuk aksi yang nyata. Melihat, aksi mahasiswa belakangan ini terkesan begitu anarkis. Mari kita bandingkan dengan kekuatan menulis.
Jika sekelompok mahasiswa melakukan aksi turun jalan, bisa anda hitung berapa orang yang memerhatikan aksi turun jalan mereka. Seribu? Itu masih untung. Itu hanya melihat, tidak melihat esensi dari aksi mahasiswa itu.
Nah, bagaimana dengan menulis?. Bramma Aji Putra dalam bukunya menembus Koran mengatakan, sebuah Koran lokal Jogjakarta misalnya, SKH Kedaulatan Rakyat memiliki oplah sebanyak 500 ribu ekslempar.
Andaikan 5 persen saja, saya ulangi, hanya 5 persen saja membaca tulisan Anda, berarti ada 25 ribu orang yang membaca tulisan Anda. Keren bukan? Hanya dengan menulis di Koran. Itu hanya Koran lokal, bagaimana dengan Koran dengan skala nasional. Tidak harus turun jalan kan?
Lalu apa efek samping dari tulisan kita?
Evawani Alissa, anak semata wayang seorang penulis sekaligus pujangga kawakan Indonesia, Chairil Anwar pernah bercerita bahwa ayahnya sempat berujar jika umurnya panjang, Chairil bercita-cita menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, jika usianya pendek, sebagaimana yang diucap Chairil sendiri ,”Anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,”.
Nyatanya, usia Chairil memang pendek, tidak genap 27 tahun. Namun, Chairil benar, terkait esensinya yakni namanya kerap menghias buku-buku pelajaran sekolah dasar, dan sajak-sajaknya menjadi bacaan wajib khususnya pelajaran Bahasa Indonesia.
Tidak hanya itu saja, dirinya juga menyatakan dalam sajaknya “Aku ingin hidup seribu tahun lagi…” dan itu benar adanya! Meski raganya sudah tiada, namun tidak dapat dipungkiri namanya tetap hidup hingga saat ini. Hanya karena menulis.
Contoh efek samping lain yang bisa dirasakan mahasiswa, adalah honor yang didapat dari menulis. Sejatinya, setiap media mengapresiasi setiap orang yang menulis di medianya. Jumlahnya pun tidak bisa dibilang murah, dari 200 ribu hingga yang skala nasional mencapai 1,5 juta rupiah. Bayangkan, sekali menulis, Anda akan mendapat gaji layaknya seorang pegawai negeri sipil yang baru saja diangkat. Bahkan, saya masih ingat ketika saya iseng-iseng ikut kelas menulis opini milik kampus sebelah, Universitas Airlangga. Pak Lis, begitu kami menyapa, berujar kalau dirinya pernah menganggur kurang lebih setahun usai kuliah. Namun bukan berarti tanpa penghasilan. Dengan kelihaiannya menulis di Koran nasional, beliau bisa makan enak, hidup dengan tenang hanya dengan menulis rutin tiap bulannya di Koran. Menyenangkan bukan.
Tapi masalah honorium adalah nomer sekian. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pentingnya menulis itu untuk mengajak dan memberitahu kepada khalayak luas mengenai pemikiran kita.
Kongkretnya begini, mahasiswa adalah kader penerus bangsa yang nanti akan membawa angin perubahan. Nah, kalau cara kita untuk mengubah bangsa, misal saya sebut aksi, itu sama saja dengan aksi yang dilakukan mahasiswa saat pelengseran tahta kekuasaan terdahulu, maka itu bukan perubahan Bung! Dan menulis opini di Koran adalah wujud konkret aksi untuk memengaruhi pemikiran orang lain sehingga bisa terbuka dengan gagasan kalian. Bukankah begitu, wahai mahasiswa?
Ditulis oleh : Muflih Fathoniawan – mahasiswa ITS jurusan Fisika – untuk mengikuti Confess Blog
Competition yang diadakan mahasiswa STAN.
Referensi :
- Aji Putra, Bramma. 2010. Menembus Koran. Penerbit Leutika. Jogjakarta
- Wibowo, Wahyu. 2006. Berani Menulis Artikel. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
- Beberapa berita di website www.its.ac.id
- sumber gambar : http://www.matanews.com/wp-content/uploads/AksiMahasiswa040909-2.jpg